Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Eye Mask dan Stroller : Cerita Anak dan Uang

Mendekati tahun ke tujuh, saya mulai melihat sudah waktunya mulai mengenalkan uang ke gadis kecil ini. Beberapa tanda seperti pemahaman matematika dasar yang sudah cukup memadai, emosi yang sudah cukup matang, yang terlihat dari bagaimana dia bisa menahan diri ketika menginginkan sesuatu.

Dia sudah melewati banyak situasi marshmellow test dan lulus dengan baik. Hal lain yang juga sudah jelas terlihat adalah dia mulai banyak keinginan untuk punya sesuatu yang dia tidak terlalu butuh.

Sebelumnya saya pernah tulis hal yang berkaitan tentang uang di THR dan Anak. Sejak pertama kali terima uang THR, saya langsung pisahkan uangnya di salah satu tabungan saya yang jarang dipakai. Ketika saya rasa uangnya semakin banyak dan semakin membingungkan karena potensi tercampur dengan uang saya semakin besar, saya memutuskan untuk membukakan rekening sendiri untuk dia. Bank langganan saya punya produk untuk anak yang mudah sekali. Jadi, beberapa bulan sebelum kami berangkat ke London, uang anak sudah punya rumah baru lengkap dengan buku tabungan dan ATM dengan namanya.

Pengalaman menggunakan uangnya sendiri pertama kali terjadi dua minggu lalu. Entah belajar dari mana, tapi anak ini suka tidur pakai eye mask. Karena belum punya, dia gunakan masker scuba kartunnya di mata. Ketika satu hari saya dan dia ke toko peralatan rumah, ketika antri di kasir dia lihat ada eye mask untuk anak-anak dan dia tanya apa boleh kalo dia mau eye masknya.

Saya ngga mikir dua kali untuk mengizinkan dia ambil karena tau ini adalah sesuatu yang dia pakai setiap malam. Ketika saya liat harganya juga wajar, saya bilang,

“Boleh ambil. Bayar pakai uang sendiri ya. Ada ATMnya sama mama,”.

Liat ekspresi bangganya pas teken PIN ATM sendiri di mesin EDC seneng banget.

Setelah ujian 20 surat pendek yang lalu, ayahnya janji untuk beliin sesuatu kalo hafalannya bagus. Jadi sehari setelahnya berangkatlah mereka berdua ke toko mainan tanpa pengawasan dan salahnya saya ngga bilang jelas berapa batas harganya. Saya juga berpikir kalo ayahnya ngerti lah ya berapa batas wajarnya.

Ketika mereka pulang bawa hadiah dengan wajah sumringah, saya tanya berapa. Mata membelalak lebar denger harga yang disebutkan ayahnya dengan nada kasual.

Kami sebagai orangtua, secara pribadi punya cara pandang yang beda tentang uang dan saya jelas sekali melihat ini banyak dipengaruhi oleh pola uang yang diajarkan sejak kecil.

Saya terbiasa mengatur uang sendiri dari kecil. Pola uang saku saya adalah bulanan. Cukup ngga cukup harus dipikir supaya cukup. Ini berlaku dari SD kelas 4. Saya sudah nnenghasilkan uang sendiri setelah lulus SMA. Sedangkan ayahnya berlaku uang harian/mingguan. Kalo habis nanti tinggal minta lagi.

Alhamdulillah di frame besarnya kita cukup sepakat masalah uang ini. Tapi, ketika ke anak, perasaan jelas beda. Apalagi jelas uangnya ada. Apalagi anaknya sudah berusaha keras untuk itu. Saya sih sepakat aja, cuma rasanya kurang pas kalo anak yang sudah mulai bisa berpikir ngga diajarkan bahwa uang bukan sesuatu yang selalu ada. Uang bukan seperti kasih sayang ibu.

Ayahnya lebih dari cukup untuk membelikan mainan dengan harga yang lebih mahal, tapi seperti salah satu prinsip yang saya pegang dalam banyak hal termasuk mendidik anak, “Not because you can, it means you should“, begitu juga masalah yang berkaitan dengan uang ini.

Anak jelas belum bisa dan belum waktunya merasakan susah dan lelahnya cari uang. Tapi, bisa dimulai dari menghargai apa yang sudah dipunya dengan cara menjaga sebaik-baiknya. Tapi, itupun harus diajarkan. Gimana mau jaga kalo ngga tau dapetinnya susah? Orang taunya ada aja barangnya. Kalo rusak nanti juga bisa beli lagi.

Mau dijelaskan mahal atau murah pun abstrak buat mereka dan sama sekali ngga bisa diukur. Mahal itu seberapa? Murah itu kaya apa? Di hadapan anak ini boneka yang dibeli di Pasar Gembrong sama yang di Kidz Station ya sama aja kecuali harganya yang beberapa kali lipat.

Seperti hukum alamnya manusia dengan barang, excitementnya pun berkurang dengan waktu. Di hari ke berapa, hubungan dengan mainan barunya mulai merenggang. Dari di bawa kemana-mana selalu bersama, pelan-pelan mulai tergeletak dimana aja. Mulai sering harus ditanya bonekanya ngga diajak. Lalu beberapa hari setelahnya tiba-tiba anak ini mendekat dan tanya apa boleh dia beli stroller untuk bonekanya.

Tidak sampai seminggu kepuasan terhadap mainan barunya sudah menurun dan muncul keinginan baru. Di sini saya liat dia sudah mulai bisa diajarkan tentang prinsip kebutuhan dan keinginan.

Waktu dia mau beli eye mask, saya ngga ragu langsung bilang iya karena saya tau dia memang butuh, dipakai setiap malam dan dengan harga yang sangat wajar sesuai isi dompetnya.Tapi ketika dia bilang mau beli stroller, ini jelas masalah keinginan dan sama sekali bukan sesuatu yang mendesak.

Akhirnya saya ajak dia lihat harga stroller mainan di toko online dan dari sana saya bilang bisa beli tapi ‘kerja’ dulu. Sebelumnya saya juga bilang kalo dia bisa aja langsung beli untuk harga segitu dengan uang yang ada di dompetnya, tapi kalo terus pakai uang tanpa ada pemasukan, satu saat uangnya akan habis. Maka saya tawarkan untuk dia melakukan sesuatu di luar tanggung jawabnya dan bisa dapat uang untuk beli strollernya.

Sejak beberapa waktu, anak ini sudah punya tugas di rumah sendiri seperti halnya saya dan ayahnya. Beberapa hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri dan sedikit yang tentang kebersihan rumah. Karena kami memang ngga punya ART sejak awal, jadi semua orang punya tugas masing-masing di rumah.

Tugas anggota terkecil meliputi membereskan tempat tidur dan kamarnya sendiri, menjemur pakaiannya sendiri ketika jadwal mencuci baju yang lebih banyak adalah bajunya. Kami mencuci baju seminggu 2x, dipisahkan warna. Umumnya warna bajunya adalah yang cerah dan batchnya lebih sedikit, jadi memang ini jadi tanggung jawabnya. Selain itu dia juga mencuci piring bekas makannya sendiri. Nah, untuk uang tambahan ini, saya menawarkan dia untuk mengambil alih sedikit dari tanggung jawab saya dan mendapat uang dari sana. Tugasnya sama cu sedikit lebih banyak.

Dia akan membantu saya mengangkat dan melipat jemuran ketika batch baju ayahnya yang lebih banyak dan berat lalu membantu saya mencuci lebih banyak piring selain piringnya sendiri. Satu sesi dihargai Rp 10.000.Setiap selesai satu sesi, dia akan menagih uangnya dan saya berikan uang fisiknya.

Saking semangatnya, semua sesi yang dibutuhkan buat beli stroller selesai dalam waktu dua hari. Strollernya pun ngga mahal. Sesuai kemampuan anak 7 tahun aja.

Target awal semua pekerjaan selesai dalam waktu 3 hari. Selesai terkumpul, dia kasih uang sebesar harga strollernya dan saya pesankan di marketplace.

Senang sekali liat dia semangat kerja karena punya sesuatu yang dituju. Pada dasarnya anak ini (dan semua anak-anak fitrahnya) suka juga bantu, lebih sering dia menawarkan diri dibanding saya nyuruh. Saya sebagai orangtua yang seringnya lebih pilih cepet beres dan ngga ribet, tentu lebih seneng ngerjain semua sendiri. Membiarkan anak yang ngerjain tentu lebih lama, lebih sering kerja dua kali, tapi di sini intinya mendidik bukan?

Bukan tentang apa yang orangtua mau, tapi tentang apa yang anaknya perlu. Jadi, kecuali ada alasan yang sangat krusial sekali, saya sebisa mungkin tidak akan menolak bantuan yang dia tawarkan dan selalu bilang terima kasih karena sudah membantu.

Saya sangat kagum sekali melihat langsung gimana anak-anak belajar. Mereka benar-benar menirukan apa yang mereka lihat dan dengar. Bukan apa yang orangtua suruh. Jadi sebenarnya memang ngga perlu sampai berbusa ngomel, cukup tunjukan perilaku kaya apa yang kita mau mereka punya. Children see children do.

Ketika saya menawarkan untuk membantu dia menjemur pakaian yang memang tugasnya, dia menjawab dengan jawaban yang hampir selalu saya kasih, persis tanpa ada yang kurang sedikit pun,

“Thank you for offering the help, but I can do it by myself for now,”.

Lucu dan sok tau.

Kenapa bukan dikasih uang saku?Menurut saya, belum waktunya. Apalagi dengan masa pandemi ini, kebanyakan di rumah, uang saku sepertinya masih bisa di waktu mendatang.

Hepi dengan mainan barunya?Jelas.

Tinggal berapa lama aja hepinya berlangsung yang kita ngga tau.

Tapi yang penting, saya dan dia sama-sama belajar sesuatu yang baru.

Author:

Pas special, J'ai seulement besoin de beaucoup de privee

Leave a comment